PEMERINTAH MEREMEHKAN PENDIDIKAN DI TANAH PAPUA
suarakolaitaga
10.29
0
![]() |
| Anak sekolah di Papua (foto: IST) |
Oleh: Paul Magai*
Ketika pendidikan dipandang sebagai hal yang sepele,
sejauh itulah pembangunan dalam segala aspek pasti akan macet. Jika
pembangunan sudah macet, maka situasi daerah dan masyarakat menjadi
tidak ramah, penuh kumuh dan menjadi daerah darurat kemanusiaan.
Maka, pada saatnya kita harus berani mengatakan bahwa pemerintah
telah gagal membangun pembangunan Papua selama lima dekade. Di sinilah
sebenarnya, kita perlu menerapkan pendidikan demokrasi demi
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan visi misi masyarakat Papua.
Skala Prioritas
Demi menciptakan kepentingan masyarakat, pemerintah harus mau
menjadikan aspek pendidikan sebagai skala prioritas utama. Karena
sejumlah aspek yang lain itu mendapat tempat utama dalam aspek
pendidikan.
Tentunya, ada perbedaan muatan ilmu pengetahuan yang paling mencolok
dalam setiap aspek baik aspek budaya, ekonomi, kesehatan maupun aspek
politik, sosial dan lingkungan alam hidup.
Meskipun demikian, akan tetapi substansi utama dari sejumlah aspek
ini adalah pendidikan. Pendidikan adalah jiwa dan roh dari setiap aspek
tersebut.
Dalam konteks ini, kita mulai dapat memahami semua aspek sebagai
pendidikan budaya, pendidikan ekonomi, pendidikan kesehatan, pendidikan
politik dan pendidikan masyarakat serta pendidikan lingkungan alam hidup
dan sejenisnya. Jadi, pendidikan adalah jiwa dan roh dari pembangunan
Papua dalam kesemua aspek tersebut.
Jika kita melihat wajah pendidikan di Kabupaten Dogiyai, maka
pemerintah telah semakin menyepelekan pendidikan dalam membangun
pembangunan di setiap kampung. Jangankan kampung, pusat Kabupaten saja
tidak ada nuansa ke-kabupatenan.
Banyak masyarakat teramat mengherankan bahwa sekalipun banyak
triliyunan rupiah telah dikucurkan dari pemerintah pusat untuk membangun
pendidikan Papua, tetapi realisasinya hilang di kalangan pemerintah
sendiri.
Menurut Gubernur Lukas Enembe, saya sudah menyerahkan dana 80% di
setiap Kabupaten termasuk Kabupaten Dogiyai untuk membangun pembangunan
negerinya termasuk dalam aspek pendidikan.
Sehingga dirinya berpendapat bahwa sekarang tidak alasan bagi
anak-anak muda Papua untuk tidak boleh lagi bersekolah. Karena kesemua
kewenangannya untuk mengelola keuangan sudah diberikan kepada pemerintah
daerah. Termasuk pelimpahan kewenangan untuk menggratiskan biaya
sekolah bagi para peserta didik di setiap sekolah.
Tapi realisasinya, pemerintah sendiri melalui Dinas terkait telah mau
memungut biaya pendidikan yang paling besar. Banyak anak-anak Papua
yang tidak melanjutkan sekolah karena biaya pendidikan sekarang lebih
mahal dari sebelumnya.
Belum lagi mahalnya uang transportasi, uang makan dan uang untuk
membeli fasilitas sekolah serta tidak punya asrama permanen bagi para
peserta dididik dari pegunungan Tengah Papua. Semuanya serba mahal bagi
para peserta didik ini.
Sementara pemerintah daerah di Kabupaten Dogiyai malahan mencari
alasan macam-macam dalam membangun pendidikan yang berkualitas bagi
anak-anak asli Papua.
Alasan yang paling mendasar yang biasa digunakan oleh pemerintah
adalah tidak ada uang. Bagi mereka, uang menjadi ukuran utama untuk
membangun pendidikan bagi anak-anak Dogiyai-Papua. Tapi anehnya jika
uang untuk korupsi itu ada-ada saja.
Uang untuk infrastruktur juga ada banyak uang bagi pemerintah.
Apalagi alokasi dana untuk minum minuman beralkohol, kegiatan pelecehan
seksual dan uang untuk ke Jakarta tanpa tujuan yang jelas.
Tapi untuk pembangunan manusia Papua melalui pendidikan, pemerintah
biasanya tidak punya uang sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah sugguh-sungguh meremekan pendidikan. Juga pemerintah tidak
serius memperhatikan pembangunan pendidikan di Kabupaten Dogiyai.
Bahkan pemerintah sama sekali tidak punya keinginan, niat dan nafsu
serta punya komitmen yang teguh untuk membangun pendidikan bagi
anak-anak muda Papua di Kabupaten Dogiyai.
Inilah wajah pendidikan Papua secara umum, yang selama ini tidak bisa
diteropong melalui metode pendidikan tepat oleh pemerintah baik
pemerintah pusat, provinsi maupun pemerintah daerah termasuk Dogiyai.
Karena itu, kita tidak heran hanya jika Negara kita ini banyak pejabat
telah terjerat dengan kasus korupsi pada akhir-akhir ini.
Hak anak-anak asli Papua atas Pendidikan
Setiap warga Negara berhak atas pendidikan. Anak-anak asli Papua
adalah bagian kecil dan lemah dari warga Negara RI. Sebagai sebagian
kecil dan lemah dari semua warga Negara RI, anak-anak asli Paua harus
diutamakan dalam membangun pembangunan Papua termasuk dalam konteks
pembangunan pendidikan Papua.
Hak-hak anak asli Papua atas pendidikan harus diutamakan karena dari
sononya, mereka memiliki atas pendidikan. Bahkan hak itu sudah dimiliki
sebelum pra-adanya mereka di negeri Cenderawasih.
Jika pemerintah membatasi hak anak-anak asli Papua atas pendidikan,
berarti pemerintah tidak mau menghargai martabat manusia Papua. Itu
berarti juga anda bungun orang yang membangun Papua. Jika pemerintah
punya cenderung berprilaku begitu, Papua ini akan dibangun oleh siapa?
Jika ternyata tidak ada orang untuk membangun Papua berarti
pemerintah itu adalah orang yang tidak berpendidikan. Di sinilah kita
berani menyimpulkan bahwa pemerintah adalah aktor utama atas kegagalan
pembangunan dan kompleksitas masalah Papua dalam berbagai aspek.
Oleh karena pemerintah tidak mengutamakan, memperhatikan dan
menseriusi dan atau meremehkan pendidikan bagi anak-anak muda Papua,
maka pada awal tahun 2014 ini, menurut penelitian saya, 95, % para calon
Mahasiswa baru tidak melanjutkan pendidikan di semua Perguruan Tinggi
yang ada di Papua.
Mereka telah memilih pulang kembali ke Kabupaten Dogiyai untuk
mengelola hak ulayat mereka. Cuma 5% saja telah diterima sebagai
Mahasiswa baru di sejumlah Perguruan Tinggi Papua. Padahal, semua
perguruan Tinggi yang berada di Papua ini telah dibangun hanya untuk
orang asli Papua. Tapi nyata telah didominasi oleh orang Papua
pendatang. Aneh tapi itulah realitas masalah pendidikan di Papua.
Sementara itu, sejumlah Mahasiswa Papua yang telah ikut tes di luar
Papua pun mengalami nasib yang sama. Sebanyak 44 Mahasiswa baru yang
sedang menunggu kapal pulang ke Kabupaten Dogiyai, Paniai dan Nabire.
Alasan mengapa mereka tidak ditema sebagai Mahasiswa baru tentunya
punya alasan yang berbeda-beda. Tidak mendapat tempat di sana,
keterbatasan biaya pendidikan, tidak ada terdaftar nama di sana
sekalipun sudah lulus tes SNMPTN dan SBMPTN, tidak lulus tes mental
setelah mengikuti tes masuk, adalah sejumlah alasan mendasar yang
dikemukakan oleh mereka.
Ini dikatakan mereka ketika tim peduli pendidikan mulai berdiskusi
dan berdialog dengan mereka di pondok sagu Bhayangkara II pada Selasa 12
Agustus 2014.
Melihat kenyataan ini sebenarnya pemerintah salah menerjemahkan
substansi dari Otsus. Tidah hanya itu, pemerintah Kabupaten Dogiyai juga
tidak punya visi dan misi yang jelas. Dan hal ini akan mempengaruhi
visi dan misi Gubernur Lukas Enembe dan Wakil Gubernur Klemens Tinal.
Bukannya visi dan misi pemerintahlah yang mengakibat kegagalan
pembangunan terutama kegalan pendidikan di Kabupaten Dogiyai, tetapi
karena perilaku kecenderungan untuk merasa apatis, sepele dan prilaku
merasa bodoh dengan sengaja tidak mau mengutamakan pembangunan manusia
melalui pendidikan yang berkualitas.
Oleh karena itu, pemerintah harus segera berkomitmen melaksanakan
kebijaksakan substansi UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi rakyat
Papua.
Pendidikan harus perlu dijadikan sebagai skala proritas utama karena
memang setiap anak-anak asli Papua punya hak dan kewajiban radikal untuk
mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas demi Papua bangkit,
mandiri, sejahtera, indah melihat seperti indahnya Pulau Cenderawasih
sejak dahulu kala.
*Penulis adalah Mahasiswa pada Universitas Cenderawasih Jayapura, Fakultas Teknik, Jurusan Elektronik

Tidak ada komentar